Penilaian ini diungkapkan Koordinator Dakwah Khusus Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Agus Tri Sundani. "Mulai 2023 hingga 2050 akan terus terjadi perbedaan ketetapan penanggalan kalau pemerintah terus menggunakan metode Imkan Rukyat, namun jika yang digunakan hisab dengan kriteria wujudul hilal, maka bisa terus sama," kata Agus yang juga Sekretaris Pimpinan wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta itu di Jakarta, Rabu (2/10).
Imkan rukyat sangat tergantung pada hasil pengamatan terhadap bulan, sementara bulan tidak akan bisa dilihat jika masih di bawah dua derajat saat matahari terbenam.''Bahkan di atas empat derajat pun bisa juga tidak terlihat,'' katanya.
Permasalahan seperti ini, menurut Sekretaris Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu, juga akan terjadi di Arab Saudi, negara yang menjadi penyelenggara ibadah haji, apalagi Saudi menggunakan rukyat murni. "Pernah kejadian di Saudi pada tahun 2000, penetapan 1 Syawal karena ada yang melapor telah melihat hilal, padahal saat itu belum terjadi ijtimak. Tentu saja ini diprotes para ahli astronomi," katanya.
Posting Komentar