Tak ada yang lebih menggelisahkan bagi para orang tua bangsa selain menyaksikan generasi muda tak siap memikul tanggung jawab. Lebih dari itu, para sesepuh negeri, khususnya para purnawirawan TNI, kini menyuarakan keresahan mereka secara terbuka—mempertanyakan kepemimpinan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah purnawirawan jenderal turun gunung. Mereka menulis surat terbuka, menyuarakan kegelisahan batin, dan bahkan mendesak pemakzulan. Ini bukan gejala "post power syndrome", melainkan bentuk pengabdian yang belum padam. Mereka merasa terpanggil karena menganggap masa depan bangsa berada di persimpangan yang rawan.
Kekhawatiran mereka sederhana: bagaimana jika Presiden Prabowo Subianto berhalangan tetap? Maka, secara konstitusional, Gibran otomatis akan menggantikannya sebagai presiden.
Masalahnya, menurut mereka, Gibran belum siap.
Gibran dinilai lebih unggul dalam pencitraan ketimbang dalam kapasitas manajerial. Ia dianggap belum memiliki visi dan ketegasan yang dibutuhkan untuk menakhodai negara sebesar Indonesia, dengan kompleksitas persoalan yang terus berkembang.
Kondisi ekonomi nasional yang tak stabil, konflik berkepanjangan di Papua, serta potensi keretakan sosial akibat kemajemukan yang terus diuji—semua itu membutuhkan pemimpin dengan keteguhan, kejernihan visi, dan kemampuan komunikasi yang strategis. Kepemimpinan bukan sekadar tampil merakyat di depan kamera. Ia harus menyentuh jantung masalah, dan hadir membawa solusi sistemik.
Para purnawirawan juga menyuarakan kekecewaan atas proses naiknya Gibran ke kursi Wakil Presiden. Mereka menilai, proses ini melukai rasa keadilan, terutama setelah Mahkamah Konstitusi merevisi batas usia capres-cawapres melalui mekanisme yang kontroversial. Tak sedikit yang menilai bahwa langkah politik itu adalah bentuk pemakluman terhadap syahwat kekuasaan, bukan pencapaian konstitusional yang jernih.
Keresahan itu, bagi para jenderal senior, bukan soal pribadi Gibran. Mereka tidak sedang iri terhadap anak muda yang kini berada di puncak kekuasaan. Seperti halnya publik dunia mengagumi Lionel Messi—bukan karena usianya, tapi karena kepemimpinannya di lapangan. Atau bagaimana John F. Kennedy dan Ronald Reagan, dua presiden AS dengan rentang usia berbeda, sama-sama mendapat tempat dalam sejarah karena kualitas mereka—bukan umur mereka.
Artinya, bukan soal tua atau muda. Tapi tentang kemampuan.
Namun keinginan memakzulkan Gibran bukan perkara mudah. Konstitusi menempatkan mekanisme pemakzulan dalam koridor yang ketat dan berlapis. Usulan harus didukung dua pertiga anggota DPR, diuji Mahkamah Konstitusi, lalu kembali disetujui oleh tiga perempat anggota MPR. Dengan konstelasi politik saat ini, di mana hampir semua partai besar telah bergabung dalam koalisi pemerintahan, jalan menuju pemakzulan tampak seperti labirin.
Pertanyaan mendasarnya pun muncul: pasal apa yang bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk memakzulkan Gibran?
Konstitusi kita, melalui Pasal 7A, menyebut presiden dan wakil presiden hanya bisa diberhentikan jika terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dari semua itu, hanya frasa “perbuatan tercela” yang memiliki ruang interpretasi luas. Sisanya harus dibuktikan secara objektif.
Meski jalan formal pemakzulan penuh liku, suara para jenderal ini tetap menjadi alarm moral. Mereka mengingatkan kita bahwa kualitas kepemimpinan tidak bisa dikompromikan. Bagi mereka, bangsa ini terlalu besar untuk dipimpin oleh seseorang yang hanya unggul dalam pencitraan tetapi rapuh dalam visi dan kapasitas.
Suara para jenderal bukan suara ambisi. Itu suara kegelisahan. Dan dalam politik, kegelisahan adalah sinyal awal dari arah perubahan.
Posting Komentar